Rabu, 12 Agustus 2009

Nusantari dan 17 Agustus


Nusantari . Satu kata. Ya, Hanya satu kata. Namaku memang hanya satu kata. Tetapi aku sangat amat menyukai namaku. Aku tetap menyukai namaku walaupun mereka sering menertawakan saat aku menyebutkan namaku. Mereka yang kumaksudkan di sini adalah orang – orang yang belum mengenal aku.

Sudah 3 kali aku mengalami kejadian – kejadian ini. Kejadian dimana aku ditertawakan karena namaku. Pertama saat aku memperkenalkan diri di Taman Kanak- Kanak Bunga Bangsa, tempatku belajar melipat dan merekat untuk pertama kali. Saat itu guru dan teman – teman menertawaiku saat aku menyebutkan namaku dalam kalimat – kalimat pendek perkenalanku dan saat itu aku hanya tersenyum karena aku menganggap mereka tertawa karena namaku bagus.

Kedua, saat aku mengikuti Ibuku mendaftarkan diriku di SD Harapan Bangsa 01. Saat itu seorang bapak berkumis dan berwajah galak tertawa ketika Ibuku menulis namaku di formulir pendaftaran. Yang kuingat saat itu aku mulai cemberut mendengar manusia berkumis itu tertawa. Kupikir namaku aneh.

Ketiga, hari pertamaku di SMP Pelita Harapan 01 saat Ibu Guruku mengabsen murid – muridnya di kelas, aku masih ingat saat itu nomor absenku 13 dan saat Ibu Guruku memanggil namaku, teman – teman sekelasku mulai berbisik – bisik dan kemudian tertawa terbahak- bahak seolah mereka melihat monyet terbang. Kali ini aku benar – benar masih ingat karena kejadiannnya baru 2 tahun yang lalu, saat itu aku mulai berkaca – kaca rasanya saat aku ingin menenggelamkan diri di Samudera Arktik. Aku mulai menganggap namaku benar – benar jelek dan tidak elite seperti nama teman – temanku yang lain. Nusantari. Sangat Indonesia menurutku dan aku membencinya.

Mengingat Indonesia yang bukan merupakan salah satu Negara maju di dunia dan keadaannya sekarang sedang carut marut. Aku benci namaku. Bahkan saat itu aku berpikir untuk apa Ibu dan Ayahku membawa pulang aku dari Rumah Sakit saat aku masih bayi kalau hanya untuk dinamai Nusantari.

---
Rabu siang, sepulang sekolah, 13 Agustus 2008
“Eh, Tari. Ibu sedang mencari resep masakan Indonesia untuk Ibu masak nanti pada saat peringatan hari kemerdekaan sekaligus merayakan hari ulang tahunmu. “kata Ibu. Aku hanya ber-ooo ria.

“ Kenapa, nama Tari harus Nusantari, Bu ?” lanjutku.
Ibu hanya tersenyum mendengarkan pertanyaanku. Aku mulai sebal melihatnya.
“ Nusantari itu bukan nama yang bagus, Bu. Nggak elite dan terlalu Indonesia. Tari nggak suka nama ini.”

Lagi – lagi Ibu hanya tersenyum. Aku mulai menekuk mukaku dan mengumpat dalam hati. Dan kemudian aku mulai pergi ke kamar dan membiarkan Ibuku meneruskan membaca majalah masakan yang berjudul ‘Aneka Resep Masakan Indonesia Seri Jempolan’ . Aku menggumam dalam hati “Lagi- lagi Indonesia.”

---
Jumat sore, 15 Agustus 2008
Ayah bersiap- siap akan pergi. Aku tidak tahu beliau akan ke mana. Sambil membawa berlusin – lusin bendera merah putih dari plastik dan bermeter-meter benang kasur.
“ Mau ke mana, Yah ?” tanyaku.
“ Berkumpul bersama – sama dengan Ayah – Ayah yang lain di rumah Pak Kamil, Tari.”
“ Untuk apa, Yah ?”
“ Menyulap gang ini menjadi Indonesia yang benar- benar Indonesia. “
“ Maksud Ayah ? “ Aku benar – benar tidak tahu maksud ayah membuat gang ini menjadi Indonesia yang benar- benar Indonesia. Rasanya gang kecil ini, di mana aku tinggal dan menghabiskan masa – masa kecil indahku sudah cukup mencerminkan Indonesia. Tetanggaku semua berbicara menggunakan Bahasa Jawa dan menurutku gang ini cukup kumuh dan kecil sangat sederhana. Indonesia sekali.
“ Lihat saja apa yang terjadi dengan gangmu ini besok lusa, Tari. “
Tanpa mengerti maksud ayah dan tanpa menebak – nebak maksud ayah lagi, lagi – lagi aku masuk kamar sambil menggumam “ Lagi- lagi Indonesia ”
---
Minggu pagi, 17 Agustus 2008
“Selamat ulang tahun buat diriku sendiri ..” Aku mengucapkannya saat bangun pada pagi ini. “…dan Indonesia tentunya.” lanjutku setengah hati. Aku segera mengganti piyamaku dengan kaos putih bergambarkan burung Garuda, lambang Negara Indonesia. Sejak kecil, Ibu dan Ayah menyuruhku memperingati 17 Agustus dengan sempurna. Sampai sekarang aku tidak pernah mengetahui maksud kata – kata dengan sempurna itu. Yang aku tahu setiap tanggal 16 Agustus malam Ibu membelikanku baju yang bernuansa Indonesia, seperti kaos bergambar pulau – pulau di Indonesia, semuanya lengkap dari Sumatera sampai Papua, bahkan ada yang gabungan membentuk Negara Indonesia seperti di peta, kaos bertuliskan naskah proklamasi, bergambar foto Bung Karno, dan beberapa kaos yang lain. Dan setelah Ibu membelikan kaos – kaos tersebut aku disuruhnya memakainya tanggal 17 pagi sampai siang. Aku juga tidak boleh bolong mengikuti upacara kemerdekaan di Alun – Alun kotaku.

Akupun keluar kamar, Ibu dan Ayah bergantian mencium pipi kiri kananku dan mengucapkan selamat ulang tahun. Kemudian aku mandi dan menikmati sarapanku, nasi goreng merah putih buatan Ibu. Merah karena nasi gorengnya berwarna merah dan putih karena telur dan krupuknya berwarna putih. Selanjutnya aku segera bergegas ke Alun – Alun diantar Ayah untuk mengikuti upacara kemerdekaan. Aku melihat gangku begitu meriah dihiasi bendera plastik merah putih.

Setelah rangkaian acara dalam upacara tersebut tibalah waktunya pengibaran bendera merah putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya. “…Indonesia Raya merdeka merdeka. Tanahku Negeriku yang kucinta.. Indonesia Raya merdeka merdeka. Hiduplah Indonesia Raya…” Aku menyanyi kecil dalam posisi penghormatan. Tak kusangka aku menangis dari awal lagu sampai selesainya. “Tegak Grak …” saat komandan upacara mengucapkan komando ini aku berkata kecil “Aku cinta namaku, Nusantari dan aku akan lebih mencintai Indonesia karena namaku adalah bagian dari Indonesia.”

Tidak ada komentar: