Kamis, 26 Maret 2009

Maafkan Aku Bunda


Oleh : Eka Ambarwati-8A

Bersama angin yang berembus kencang
Kilat dan Guntur yang saling menyambar
Bersama matahari yang enggan tersenyum
Dan bintang - bintang yang enggan berkedip

Ku terbangkan puisi ini
Bersama jasadku yang terbujur kaku
Diiringi rindu yang terpendam dalam
Dan air mata sujud permohonanku

Sebuah permohonan maaf untukmu, Bunda
Karena di hari bahagiamu ini
Aku meninggalkanmu memenuhi panggilanNya
Hanya ku bingkaikan cinta setulus hati

Mungkin dengan perpisahan
Bunda akan mengerti arti sebuah pertemuan
Dan bunda akan selalu ingat
Bahwa bunda pernah memiliki aku

Jangan menangis Bunda
Karena aku tak pernah menangis,
saat aku menyakiti Bunda
Karena aku tak pernah menangis,
Saat aku melukai hati Bunda

Maafkan aku bunda
Jika di hari ulang tahunmu ini
Aku tak dapat memberimu kebahagiaan
Melainkan sebuah senyum perpisahan

Tuhan,
Tolong bisikkan padanya
Bahwa aku akan selalu disisinya
Bahwa aku akan selalu mencintainya
Bahwa aku akan selalu bersamanya

Kami Tertipu Kami Terjebak


Karya : Kirana Dyah Chita Insani

Desa kami sedang tertimpa musibah. Banyak warga yang terjangkit penyakit parah. Tidak jelas apa penyebab dari penyakit ini. Mula – mula tubuh terasa berat seakan tidak dapat berdiri lagi , kemudian badan terasa panas dan mulai memerah , lalu badan terasa nyeri seperti disayat – sayat benda tajam. Penyakit ini menular dari rumah ke rumah. Sementara itu warga yang belum terjangkit penyakit ini kebingungan mencari obatnya. Semakin hari penyakit ini semakin mewabah kemana-mana. Warga yang sakit hanya dapat pasrah menghadapi cobaan ini , warga yang belum terjangkit lebih memilih kabur dari desa ketimbang diam dan terjangkit penyakit tidak jelas ini. Belum sempat warga mengungsi ke desa sebelah , ada dokter yang ingin menolong warga dengan obat mujarabnya. Pak Dokter memberitahukan bahwa obat ini dapat menyembuhkan penyakit apa saja. Namun dia ingin diberi waktu beberapa hari untuk meracik ramuan obat yang dia punya agar semua warga dapat cepat sembuh. Dan dia meminta izin ke semua warga untuk tinggal di desa ini beberapa hari. Mulai hari itu kami bisa cukup lega dan mempunyai harapan untuk tidak menderita lagi seperti ini. Mulai saat ini desa dibagi menjadi dua bagian , bagian untuk warga yang terjangkit penyakit anh ini dan sebagian lagi untuk warga yang sehat – sehat saja.

Hari Pertama. Pak Dokter mulai mengumpulkan bahan – bahan yang dia butuhkan. Kami semua menawarkan diri untuk membantunya mengumpulkan bahan , namun dia menolak. Hmm . . . ada yang janggal di sini. Padahal bahan – bahan yang dibutuhkan ada di dalam hutan belantara yang berbahaya. Banyak hewan buas di sana. Dokter tetap tidak ingin dibantu , dia sudah membawa peralatan sendiri. Akhirnya kami hanya dapat menunggu menolongnya jika sewaktu – waktu dia terancam bahaya. Dan ketika matahari sudah bersiap – siap tenggelam di barat , Pak Dokter membawa bahan – bahan yang dibutuhkan tanpa ada luka di tubuhnya. Dia keluar dari hutan dengan selamat.

Hari Kedua. Pak Dokter meracik ramuan dari bahan – bahan yang ia dapat. Lagi – lagi , Pak Dokter mengelak untuk diberi bantuan. Katanya , “Ini Ramuan yang amat rahasia , hanya dimiliki oleh keluarga saya. Jangan ada yang melihat saya meraciknya atau Ramuan ini akan gagal dibuat.” Kami tidak dapat berbuat apa – apa lagi . Niat baik kami selalu ditolak. Kami pun melakukan aktivitas seperti biasanya.

Hari Ketiga . Pak Dokter sudah selesai meraciknya , tinggal membagikan ke semua warga. Hanya dengan uang Rp 7.500,00 saja kami sudah mendapatkan obat mujarab itu. Pak Dokter meminta uang kami terlebih dahulu , karena dia harus cepat – cepat pulang ke kota untuk melakukan tugas yang menantinya. Hmm . . . kami agak curiga dengan tingkahnya kali ini. Jika dia ingin semua warga mendapatkan obat , mengapa dia harus pergi tanpa mengatur para warga yang berebutan mengambil obat ? Sementara para warga ribut dengan pembagian obat. Kami , beberapa warga yang tidak terjangkit penyakit , mengikuti Pak Dokter ke luar desa. Namun , Pak Dokter berbelok ke arah rumah Mbah Dukun yang terkenal dengan ilmu santetnya. Kecurigaan kami semakin besar. Kami pun mencoba mendengarkan pembicaraan antara Pak Dokter dan Mbah Dukun.

“Terima Kasih Mbah Dukun. Berkat Santet Mbah Dukun , obat saya laku keras. Isi obat itu hanya air yang di campur bahan – bahan herbal biasa. Hahahahaha . . . Betapa bodohnya mereka itu.”
“Hmm . . . ya ya ya. Tapi jangan lupa , bagi – bagi hasil jerih payahnya ya ? Hahahahaha . . . !” Kata Mbah Dukun.
“Iya , tenang saja Mbah Dukun. Ini adalah uang yang saya terima. Ini merupakan keberhasilan kita menjual obat mujarab. Hahahaha . . . itu semua rekayasa kita berdua , penyakit itu hanya santet. Hahahaha . . . Dan obat itu hanya air yang dicampur berbagai bahan – bahan biasa yang tidak membawa efek apa – apa. Hahahaha . . . ini hanya strategi saya , agar saya tidak jadi bangkrut.”

Ha ? Ternyata ini semua hanya rekayasa ? Wah . . . Kami sudah tertipu , Kami terjebak bujukan Pak Dokter. Ketika mereka sedang asyik – asyiknya mengobrol , dua orang dari kami pergi ke Balai Desa untuk mengumumkan ke warga bahwa semua ini hanya rekayasa Pak Dokter dan Mbah Dukun. Para warga marah dan segera menghampiri rumah Mbah Dukun. Mereka akan meminta ganti rugi dan meminta untuk mengembalikan keadaan mereka seperti semula. Para warga benar – benar marah , sampai – sampai ada yang membawa senjata tajam. Untungnya mereka bisa mengerti kalau menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan itu melanggar etika. Dengan sigap kami semua mengepung rumah Mbah Dukun. Kami meminta pertanggung jawaban mereka berdua. Mereka berdua pun meminta maaf dan mengembalikan uang yang mereka dapatkan. Tak berapa lama kemudian , mobil Polisi datang untuk membawa mereka berdua ke balik jeruji besi. Mereka berdua sempat berusaha untuk kabur , namun kami para warga mengejar mereka dan menangkap mereka. Tangan mereka diborgol , sebagai tanda bahwa mereka telah bersalah menipu warga dengan cara seperti ini.

Semenjak kejadian itu , warga desa kami selalu waspada terhadap semua bahaya yang mengancam. Dan kami membangun sarana kesehatan di desa kami , agar kami tidak tertipu lagi dengan obat mujarab yang tidak pernah ada.

Kamis, 19 Maret 2009

HamPa Ku

Dimana mentari penyemangat
Apa guna hidup tanpa senyum
Terasa perih mendatar di jiwa
Semua hendak Kugapai

Bolehkah Kuraih
Melalui jiwa tanpa semangat
Semangat dari kawan nan jauh
Mentari pun tak bisa ku tatap

Jalan menuju kegembiraan
Terlalu jauh tuk ku gapai
Ku tertunduk di kursi itu
Tak bisa beranikan diri

Hingga ku tutup semua lembaran
Ku hanya ingat kehambaran
Merajalela dalam catatan hayat
Tak satupun yang kudapat

By : Devie Anggraeni