Rabu, 16 Desember 2009

Kesombongan

by: yuanita aisyah (8A)


Hari ini hujan deras mengguyur kota kami, Jember. Memang beberapa hari ini banyak hujan tak henti-hentinya berguyur. Apalagi dua hari lagi adalah Hari Raya Idul Adha. Banyak orang tidak bisa bebas bertransaksi hewan kurban yang memang sudah harus dipersiapkan dua hari sebelum Hari H. Disekolahpun Hari Idul Adha merupakan topik pembicaraan.
“Eh, tadi malam, tiba-tiba saja orang tuaku membawa tiga ekor sapi dan 4 ekor kambing untuk Hari Raya Qurban. Sebenarnya aku sangat terkejut, hebat kan?” Kata Tari, membanggakan diri. Tari adalah anak terkaya disekolah kami. Kesombongannya membuatnya dijauhi, tapi seakan-akan ia menganggapnya menjadi satu kelebihan.
“Bagaimana denganmu Neira? Apa ayahmu sudah membeli ternak untuk dikurbankan?”Tanya Tari kepadaku. Akulah yang selalu jadi bahan ejekan baginya, karena menurutnya orangtuaku bahkan tidak cukup kaya untuk menyekolahkanku.
“Aku tidak pernah mendengar orangtuaku membahas itu”Jawabku tenang sambil membaca novel. Bisa kulirik wajah Tari yang merah padam merasa ucapannya tidak cukup membuatku dipermalukan. Malah membuatnya ditertawai oleh teman-temanku yang lain setelah mendengar jawabanku yang tenang.
Hari ini adalah satu hari sebelum hari H. Bisa kulihat di majalah sekolah, wajah Tari dengan lugunya memenuhi cover, bersalaman dengan kepala sekolah atas penyerahan seabrek hewan ternak yang akan ia kurbankan di sekolah. Mulailah majalah-majalah tanpa cover bertebaran dimana-mana. Selalu begitu. Saat Tarilah yang menjadi model didepan cover, teman-temanku merobek cover itu dan membuangnya ke tempat sampah. Menurut mereka, orang yang mampu melihat cover itu lama-lama adalah orang gila. Dan orang gila itu termasuk aku. Menurutku tidak usah berbuat segitunya, karena setiap orang boleh membanggakan dirinya masing-masing.
“Kenapa kamu masih menyimpan covernya? Sudah robek saja!”Kata teman disebelahku, Candra, yang sangat membenci Tari. Terkadang ia memberiku pujian karena masih betah menjadi bahan ejekan Tari
“Kamu ini, tidak menghargai orang sekali. Kan dia sudah susah payah menahan senyum disitu, kasihan kan?” Jawabku meledek. Bisa kulihat wajah Candra memerah karena tertawa. Ikut-ikutan meledek senyum Tari yang seakan-akan memang dipaksakan.
Siang itu, pelajaran agama dimulai setelah istirahat pertama. Pak Huda, guru agama kami masuk dan menggelengkan kepala setelah melihat pemandangan yang sudah biasa. Tari memainkan heandphonenya tidak menjawab ucapan salam dari Gurunya.
“Hari ini, kita akan membahas tentang Hari Raya Kurban. Kurban yang diberikan untuk fakir, miskin, dan orang-orang yang benar-benar membutuhkan, merupakan satu bentuk penunjukan rasa ikhlas kita kepada yang diatas. Bukan bentuk kesombongan kita hanya karena ingin dilihat orang.” Kata Pak Huda menjelaskan. Bisa kulihat maksud dari perkataan itu untuk menyinggung Tari, tapi ia tidak memperhatikan dan hanya merepotkan sms masuk dengan suara yang nyaring dan mengganggu kelas. Pak Huda tidak suka menghukum muridnya, dengan itulah,Tari merasa bisa berbuat apa saja.
Malamnya, tiba-tiba satu kejadian yang membingungkan terjadi. Saat orangtuaku menghitung kupon yang didapat untuk mengambil hasil kurban, tiba-tiba telepon rumah berdering. Tari menelfon. Suaranya tak karuan diselingi isak tangis yang tak berkesudahan.
“Ibuku..ibuku meninggal,,”Katanya gagap. Saat itu aku mulai terkejut seraya menyebut, ”Innalillahi wainna ilaihi raji’un”. Saat itu aku langsung pergi kerumah Tari dan bertemu dengannya. Tidak banyak orang yang ada disana. Hanya ada aku, dan saudara jauhnya. Banyak tetangga hanya lewat, melihat dan berlalu tanpa peduli. Aku bisa merasakan apa yang dirasakannya. Kehilangan orang yang disayanginya di malam saat takbir bergema dimana-mana.
Neira menangis dipelukanku, tidak bisa berhenti berterima kasih. “Terima ka..kasih, Neira.. aku ti..tidak tahu apa yang terjadi tanpa kamu,”
“Aku hanya disini karena aku temanmu. Aku tidak mungkin meninggalkan temanku berlinang air mata tanpa ada seseorangpun yang menenangkannya. Karena itulah aku disini.” Jawabku sabar.
Esoknya, setelah pemakaman dimalam hari, Tari menyertaiku shalat ied bersama. Disebelahku, bisa kulihat air matanya berjatuhan. Ia tak peduli lagi dengan ternak-ternak yang ia kurbankan menunggu diluar gerbang sekolah untuk disembelih. Setelah itu, didepan semua orang ia menyatakan rasa bersalahnya selama ini.
“Semuanya, teman-teman, guru, kepala sekolah, dan semua orang yang berkumpul disini.Tari ingin mengucapkan permintaan maaf sebesar-besarnya atas perlakuan tidak menyenangkan yang pernah Tari lakukan kepada semuanya. Tari telah merasakan rasa kehilangan yang besar yang seakan-akan memperingatkan Tari.” Ungkapnya seraya menangis tersedu-sedu. Ia tak lupa mendoakan Ibunya.
Tari mulai menjabat tangan teman-temannya, gurunya, berpelukan dan kembali menangis. Ia berjanji tidak akan bersikap mencela lagi,apalagi kepadaku.
Penyembelihaan dilangsungkan. Hasil dari itu semua, Tari berikan kepada orang yang membutuhkan, yang mendapat kupon ataupun tidak. Ia dengan ikhlas dan bahagia membagikannya. Tanpa ada kesombongan sedikitpun melekat dihatinya. Aku bisa melihatnya dari matanya dan wajahnya yang berbinar-binar.

Tidak ada komentar: